- Back to Home »
- cerpen , Indonesia »
- Tragedi 1M
Posted by : Budak Melayoe
Minggu, 05 April 2015
harap masukkan komentar
sebagai motivasi untuk saya
dan pembelajaran juga buat saya :)
Setengah
jam aku menunggu antrian, tapi nomor antrianku masih berjarak sembilan nomor
lagi. Seseorang dengan setelan jas silver rapi memasuki bank dan langsung
menuju ke sebuah ruangan. Langsung saja kukira ia adalah manager ataupun
staff executive bank ini. Namun lima
belas menit berselang si pria berjas pun keluar, kali ini bersamaan dengan
koper silver yang ditentengnya, senada dengan setelan jas nya. Saking focus nya
aku memperhatikan nya tak kusadari di sampingku telah duduk pria paruh baya
yang ikut mengantri. Ia menyapaku, memecah perhatianku. Kuperhatikan
tampilannya, tak ada yang istimewa. Hanya menggunakan baju kemeja putih kusam bergaris
vertical biru tua.
Pria ini selalu mengoceh. Tentang
pekerjaan nya, anak-anak nya, sesekali menanyakanku juga, mengajakku
bercakap-cakap, selang beberapa menit pria ini hendak ke toilet dan menitipkan
tas kain bercorak merah-biru tua, bentuk tas jinjing yang biasa digunakan
orang-orang mudik. Tibalah giliranku. Aku pun menuju teller. Hanya ada satu
teller disini. Kantor cabang bank yang kecil dengan fasilitas sepuluh bangku
tunggu dan satu mesin ATM, membuat antrian lambat berjalan. Ya, aku tinggal di
perkampungan kecil. Tak banyak masyarakat yang mengenal perbankan. Kecuali para
kariyawan kantor dan mahasiswa sepertiku yang menggunakannya untuk administrasi
akademik. Oke, kembali lagi ke ceritaku tadi. setelah kuselesaikan pembayaran
kulyah untuk semester depan, aku pun duduk kembali dibangku tunggu, tempat yang
sama saat aku mengantri. Bukan lagi hendak mengantri, melainkan menunggu
laki-laki yang menitipkan tas nya tdi kepadaku.
Aku heran dan bertanya-tanya, apa yang ia
lakukan, hingga dua jam lebih aku menunggu ia tak kunjung datang?. Kuurung kan
niatku untuk pulang dan meninggalkan tasnya. “Baik, akan ku tunggu 15 menit
lagi.”, gumamku dalam hati sambil melirik jam di dinding yang terletak di
belakang meja teller itu.
Kini 15 menit itu telah berlalu. Aku
melangkah ke pintu toilet hendak mengecek keberadaan laki-laki tadi, tak ada
siapa-siapa. Kesabaranku sudah habis. Kusambar tas nya lalu melangkah keluar.
Aku hendak melaporkan atau menyerahkan tas ini kekantor polisi sebagai barang
hilang. Kuraih sepedaku yang kuparkir tepat disebelah sepeda motor tua. “tas
besar dan berat ini, apa isinya sebenarnya?”. Saat aku meletakkannya kedalam
keranjang sepeda, ku intip sedikit. Terperanjat setengah mati aku dibuatnya !.
tas ini berisi uang pecahan seratus ribu, banyak, tak tau berapa lembar.
Kuperkirakan isi nya mencapai 1 Miliar. “Apa maksudnya, menitipkan tas yang
begitu berharga ini kepadaku dantanpa kembali?” pikiranku becabang-cabang saat
itu. Jantungku pun mulai gugup. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang terlintas
dibenakku. “Tak mungkin ia tak punya maksud tujuan meninggalkan tas ini
kepadaku.” Pikirku lagi. “Semoga tak terjadi apa-apa padaku nantinya.”
Tak ingin berlama-lama aku langsung
mengayuh sepeda tuaku sekencang-kencangnya. Makin kuatlah niatku untuk
melaporkan tas bermasalah ini kekantor polisi. Sesampi nya di sana aku tak ingin berlama-lama, langsung
ku ceritakan detail kejadian hingga selesai. Polisi berkata “Baiklah, serahkan
kasus ini kepada kami.” Aku pun pulang dengan segera, hati lega setelah
melaporkan tas itu.
Sayang
sungguh sayang, apa yang kutakutkan pun terjadi. Sepeda bututku tak mampu
melaju seperti kuda di film-film romawi itu. Aku dihadang oleh mobil ford hitam
buatan Amerika tahun 2010, perkiraanku. Mereka menculikku dan membawaku ke
hutan, tak bisa kuperkirakan tepat nya dimana. Mataku ditutup dengan kain
hitam, dan aku tak ingin melawan sekelompok orang berbadan besar dengan shot
gun di balik jas nya itu. Sengaja ku kibaskan tanganku saat ia hendak
mengikatku tadi semata-mata untuk memastikan ada tidaknya senjata itu.
Sesampainya di hutan mereka berucap-ucap yang kata-katanya tak bisa kupahami.
Logat kental Rusia, pikirku. Dan dengan bahasa yang sama mereka menanyaiku.
kujawab hanya “I don’t know”. Berkali-kali ditanya, kujawab juga dengan kalimat
“I don’t know!” Karna hanya kata itu
yang kutau. Setidak nya yang kutangkap dari film-film Hollywood.
Aku pun dihajar dengan puluhan kali
pukulan, beberapa diantaranya kurasakan hentakan kayu mendarat di beberapa
bagian tubuh, punggung, kaki, lengan dan terakhir perut. Terakhir ku dengar
suara ledakan menggelegar. Lalu tak mampu mendengar apa pun. Suara itu
membuatku tuli. Sakit luar biasa di pundak membuatku terasa hampir mati.
Kesadaran ku pun mulai hilang. Perlahan-lahan gelap gulita.
Saat sadar aku sudah berada di
rumah. Ibu meraung-raung. Menangisi keadaan ku. Dokter berkata “Dia harus
dibawa ke rumah sakit, penyakit nya ini lama-lama bisa membahayakan nya,
khayalan dan imajinasi nya sudah semakin parah. Ia bisa mati karenanya.” Lalu
kudengar ibu menjawab “Tapi ia bertingkah normal selama ini. Dan kulyah nya
lancar-lancar saja. Apa penyakit ini bisa diderita oleh orang yang bertingkah
normal, dok?” “bahkan profesor pintar sekalipun.” Ujar dokter sambil tersenyum.
“Ia bercerita adanya kasus kriminal, dengan uang sejumlah 1 miliar dalam tas yang
ia peroleh dari seorang laki-laki. Tapi tak ada saksi akan hal itu, dan di CCTV
bank tak ada seorangpun yang berdialog dengan nya, ia terlihat bercakap-cakap
sendiri. Dan di kantor polisi tak ada tas yang dimaksud, padahal ia mengatakan
telah meletakkan tas itu di samping meja si polisi, lalu pergi segera tanpa
sempat ditnyai si polisi. Tak ada saksi yang melihat ia pergi dengan mobil
sedan hitam. Ibu, tolong dengarkan saran saya dan segera bawa ia ke rumah sakit
dan coba konsultasikan ini ke dokter jiwa, dokter sofia, kenalan saya. Ia biasa
menangani kasus ini.” Jelas sang dokter panjang lebar kepada si ibu. “Ia bisa
menyiksa dirinya sendiri, bahkan kalau tidak ditangani segera ia bisa mati karena
nya.” Katanya lagi sambil membereskan peralatan medis yang digunakannya untuk
mengobati luka-luka paijo. Sebelum berlalu pergi ia berkata “ini schizophrenia.”
Dokter berlalu, sambil meninggalkan secarik kertas, seperti sebuah kartu nama.
Tertulis disana alamat seseorang yang bernama Sofia Risma. Isak tangis sang ibu
semakin bertambah.